UTS MATA KULIAH " AMDAL "


UTS MATA KULIAH AMDAL

Penguji                       : Prof. Dr. SUPLI EFFENDI RAHIM,M.Sc
NAMA                       : MARIYAM JAMILAH
NPM                           : 19.13101.11.19

1.    Jelaskan konsep dan prinsip Amdal, nilai 20

Jawab:

Menurut UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No. 27/1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
       AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan. Yang dikaji dalam proses AMDAL: aspek fisik (struktur tanah, geologi, bentang lahan), kimia (pencemaran air, udara dan tanah), ekologi (dampak terhadap flora dan fauna), sosial-ekonomi, sosial- budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup di satu sisi merupakan bagian studi kelayakan untuk melaksanakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, di sisi lain merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui secara lebih jelas dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, baik dampak negatif maupun dampak positif yang akan timbul dari usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positif (Hendartomo, Tanpa Tahun).
       Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut di antaranya digunakan kriteria mengenai :
a.       Besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan.
Jumlah manusia yang terkena dampak menjadi penting bila manusia di wilayah studi ANDAL yang terkena dampak lingkungan tetapi tidak menikmati manfaat dari usaha atau kegiatan, jumlahnya sama atau lebih besar dari jumlah manusia yang menikmati manfaat dari usaha atau kegiatan di wilayah tersebut.

b.      Luas wilayah penyebaran dampak.
Suatu rencana usaha atau kegiatan bersifat penting bila mengakibatkan adanya wilayah yang mengalami perubahan mendasar dari segi intensitas dampak, tidak berbaliknya dampak, kumulatif dampak.

c.       Intensitas dan lamanya dampak berlangsung.
Intensitas dampak; Perubahan lingkungan yang timbul bersifat hebat, atau drastic, berlangsung diarea yang relative luas, dalam kurun waktu yang relative singkat. Lamanya dampak berlangsung ; Dikatakan penting bila rencana usaha atau kegiatan mengakibatkan timbulnya perubahan mendasar dari segi intensitas dampak atau tidak berbaliknya dampak, atau segi kumulatif dampak yang berlangsung hanya pada satu atau lebih tahapan kegiatan.

d.      Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak.
Rencana usaha atau kegiatan menimbulkan dampak sekunder dan dampak lanjutan lainnya yang jumlah komponennya lebih atau sama dengan dengan komponen lingkungan yang terkena dampak primer.

e.       Sifat kumulatif dampak.
Komulatif mengandung pengertian bersifat bertambah, bertumpuk atau bertimbun. Dampak suatu usaha atau kegiatan dikat akan bersifat kumulatif bila pada awalnya dampak tersebut tidak tampak atau tidak dianggap penting., tetapi karena aktivitas tersebut bekerja berulang kali atau terus menerus, maka lama kelamaan dampaknya bersifat kumulatif.

f.       Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.
Perubahan yang akan dialami oleh suatu komponen lingkungan tidak dapat dipulihkan kembali walaupun dengan intervensi manusia (Tias, 2009).

Tujuan secara umum AMDAL adalah menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan serta menekan pencemaran sehingga dampak negatifnya menjadi serendah mungkin. Dengan demikian AMDAL diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang pelaksanaan rencana kegiatan yang mempunyai dampak terhadap lingkungan hidup (Hendartomo, Tanpa Tahun).

Beberapa komponen yang terdapat pada amdal, diantaranya yaitu :
1. PIL (penyajian informasi lingkungan).
2. KA (Kerangka acuan).
3. ANDAL (analisis dampak lingkungan).
4. RPL (rencana pemantauan lingkungan).
5. RKL (rencana pengelolaan lingkungan).



Prinsip dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
Gibson (1993) dalam Setiawan (2003) menyatakan bahwa seperangkat prinsip dapat diidentifikasikan untuk merancang analisis dampak. Kedelapan prinsip ini adalah sebagai berikut:
a.       Satu pendekatan terpadu. Masyarakat harus melihat dampak kegiatan mereka pada skala lokal, nasional dan internasional. Meyakinkan bahwa kebutuhan dasar terpenuhi, kemiskinan dapat dihilangkan, adanya analisis pola konsumsi untuk menentukan implikasi penggunaan sumber-sumber alam serta besaran limbah yang dibuang balik ke lingkungan, serta melihat pula aspek-aspek sosial, budaya dan ekonomi disamping aspek lingkungan. Mengkaji implikasi panjang pendek, menengah dan panjang juga penting dilakukan.
b.      Semua bentuk keputusan harus ramah linngkungan. Analisis dampak harus diberlakukan seluas mungkin, termasuk prakarsa pembangunan dari masyarakat maupun swasta untuk proyek-proyek baru atau perluasan, perbaikan, ataupun penghentian proyek yang ada. Prinsip ini bermaksud bahwa kebijakan, program dan proyek harus melalui anallisis dampak.
c.       Analisis dampak harus menekankan pada identifikasi kemungkinan terbaik. Prinsip ini menuntut bahwa tujuan dan keunggulan relatif dari alternatif yang dipilih harus dikaji secara kritis.
d.      Analisis dampak harus berdasarkan hukum, serta harus spesifik, wajib dan dapat diterapkan. Prinsip ini memperjelas bahwa analisis dampak merupakan suatu serangan terhadap status quo dan dimaksudkan untuk membawa perubahan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Karena menekankan pada perubahan, pemberlakuan yang bersifat sukarela adalah tidak tepat. Harapan terhadap analisis harus dapat dipahami secara jelas, semuanya h arus berdasarkan hukum dan peraturan, ser ta harus dapat diberlakukan berdasar hukum.
e.       Proses analisis dan pengambilan keputusan yang terkait harus terbuka, partisipatif dan adil . Prinsip ini merefleksikan konsep-konsep persamaan, pemberdayaan dan keadilan yang merupakan hakekat pembangunan berlanjut, serta pendekatan partisipasi. Pertimbangannya adalah bahwa analisis dampak mengandung hal-hal ilmiah maupun nilai-nilai sehingga “partisipasi dan kritik luas merupakan cara terbaik untuk melawan kecenderungan bias yang sempit serta meningkatkan kehati-hatian terhadap tanggapan masyarakat luas”. Keterbukaan dan partisipasi juga akan menghasilkan pendekatan yang seimbang dengan memperhatikan semua golongan dan kepentingan.
f.       Kondisi dan syarat penerimaan harus dapat dijalankan; kapasitas juga harus ada untuk memantau efek dan penataan terhadap peraturan pelaksanaan(juklak) selama pelaksanaan. Persetujuan yang dilakukan setelah kajian yang sistematik tidak akan banyak gunanya jika tidak ada kapasitas atau komitmen untuk mengevaluasi pelaksanaan dan meyakinkan diikutinya peraturan. Sementara hal ini jelas merupakan suatu pengetahuan umum, banyak proses analisi s dampak tidak memberikan apa yang disebut sebagai “pemaksaan”.
g.      Penerapan yang efisien harus muncul. Meskipun efisiensi merupakan perhatian utama dalam proses regulasi, Gibson menyarankan bahwa hal ini sangat penting dalam analisis dampak karena ketidakefisienan akan membawa kekejaman dan antagonisme, yang akan menjadi musuh yang menakutkan. Tujuan jangka panjang analisis dampak adalah mengubah proponen menjadi manusia yang secara otomatis berfikir, berencana dan bertindak dengan pertimbangan-pertimbangan lingkungan dan sosial. Antagonisme dan kekejaman akan menjadi persoalan utama dalam mencapai tujuan jangka panjang ini.
h.      Berbagai cara harus disusunn untuk menghubungkan analisis dampak dengan pengambilan keputusan yang lebih tinggi . Prinsip terakhir ini berkaitan erat dengan prinsip pertama yang menyarankan pendekatan terpadu. Oleh karenanya, penting untuk meneruskan hasil-hasil analisis dampak pada proses pengambilan keputusan dan program yang lebih luas, serta digunakan untuk membantu dan mengembangkan kriteria yang digunakan untuk menilai fungsi lingkungan (Setiawan dkk, 2003).

2.    Jelaskan langkah-langkah pembuatan studi Amdal, nilai 20
Jawab:
Secara umum langkah-langkah pembuatan Amdal terdiri dari beberapa langkah, antara lain:
a.       Proses penapisan atau screening atau wajib amdal
Proses penapisan pada amdal atau sering disebut juga dengan proses seleksi wajib amdal adalah suatu proses untuk menentukan, apakah rencana kegiatan ini wajib menyusun amdal atau tidak. Di indonesia, proses penapisan ini biasanya dilakukan dengan sistem penapisan hanya 1 langkah saja.
Ketentuan di dalam suatu rencana kegiatan yang perlu menyusun dokumen amdal atau tidak, dapat dilihat dari keputusan Menteri Negara LH nomor 17 tahun 2001 tentang jenis rencana usaha atau kegiatan yang memang wajib dilengkapi dengan adanya amdal.
Yang menjadi bahan pertimbangan dalam penapisan biasanya mengacu kepada dasar pertimbangan, di suatu kegiatan dalam menjadi wajib amdal dalam Keputusan Mentri Negara LH nomor 17 tahun 2001. Yang isinya meliputi :
-     Keputusan BAPEDAL nomor 064 tahun 1994 tentang pedoman pada dampak penting, yang mengulas tentang ukuran dampak penting di dalam suatu kegiatan.
-     Referensi internasional yang isinya mengenai kegiatan wajib amdal yang telah diterapkan oleh beberapa negara.
-     Ketidakpastian dalam kemampuan teknologi yang telah tersedia untuk menanggulangi dampak negatif, juga merupakan hal yang penting.
-     Beberapa studi yang telah dilakukan oleh perguruan tinggi yang di dalamnya ada kaitannya dengan wajib amdal.
-     Adanya masukan dan atau usulan dari berbagai sektor teknis yang terkait.

b.      Proses pengumuman
Setiap rencana kegiatan yang diwajibkan untuk membuat AMDAL wajib mengumumkan rencana kegiatannya kepada masyarakat sebelum pemrakarsa melakukan penyusunan AMDAL.Pengumuman dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab dan pemrakarsa kegiatan.
            Tata cara dan bentuk pengumuman serta tata cara penyampaian saran, pendapat dan tanggapan diatur dalam Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 08/2000 tentang Keterlibatan masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses AMDAL.

c.       Proses pelingkupan (sopping)
Pelingkupan merupakan suatu proses awal (dini) untuk menentukan lingkup permasalahan dan mengidentifikasi dampak penting (hipotetis) yang terkait dengan rencana kegiatan.
            Tujuan pelingkupan adalah untuk menetapkan batas wilayah studi, mengidentifikasi dampak penting terhadap Iingkungan, menetapkan tingkat kedalaman studi, menetapkan lingkup studi, menelaah kegiatan lain yang terkait dengan rencana kegiatan yang dikaji. Hasil akhir dan proses pelingkupan adalah dokumen KA-ANDAL. Saran dan masukan masyarakat harus menjadi bahan pertimbangan dalam proses pelingkupan.

d.      Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL
Setelah KA-ANDAL selesai disusun, pemrakarsa dapat mengajukan dokumen kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai.Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.

e.       Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL
Penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL tersebut dilakukan dengan mengacu kepada KA-ANDAL yang telah disepakati bersama. Hal itu dapat dilihat dari hasil penilaian komisi amdal.Setelah semua itu selesai disusun, pemrakarsa baru boleh mengajukan dokumen kepada komisi penilai amdal untuk kemudian dinilai kembali.
Berdasarkan peraturan yang berlaku, lamanya waktu penilaian amdal tersebut adalah sekitar 75 hari.Sama halnya dengan RKL dan RPL, semuanya di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki atau atau menyempurnakan kembali dokumen tersebut.

f.       Persetujuan Kelayakan Lingkungan
Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu rencana usaha dan/atau kegiatan diterbitkan oleh:
1)   Menteri, untuk dokumen yang dinilai oleh penilai pusat
2)   Gubernur, untuk dokumen yang dinilai oleh komisi penilai provinsi
3)   Bupati/walikota, untuk dokumen yang dinilai oleh komisi penilai kabupaten/kota

Penerbitan keputusan wajib mencantumkan:
1)   Dasar pertimbangan dikeluarkannya keputusan
2)   Pertimbangan terhadap saran pendapat dan tanggapan yang diajukan oleh warga masyarakat.
3. Apa saja peraturan yang terkait pembuatan studi Amdal, nilai 10
    Jawab:       
Sebagaimana kita ketahui, saat ini telah ditetapkan dan diundangkan Peraturan Pemerintah nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (PP 27/2012. Kemudian sebagai upaya pelaksanaan ketentuan dari peraturan tersebut, kemudian ditetapkan beberapa Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup, antara lain :
a.    Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup.
b.    Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor. 17 Tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan.
c.    Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2012 Tentang Jenis Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup

Peraturan Pemerintah diatas disusun sebagai pelaksanaan ketentuan dalam Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya ketentuan dalam Pasal 33 dan Pasal 41. Peraturan Pemerintah 27/2012 mengatur dua instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu instrumen kajian lingkungan hidup (dalam bentuk amdal dan UKL-UPL) serta instrumen Izin Lingkungan.
Penggabungan substansi tentang amdal dan izin lingkungan dalam tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa AMDAL/UKL-UPL dan izin lingkungan merupakan satu kesatuan.Sebaagaimana tercantum pada Pasal 2.
1.  Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki Izin Lingkungan.
2.  Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh melalui tahapan kegiatan yang meliputi:
a.    penyusunan Amdal dan UKL-UPL;
b.    penilaian Amdal dan pemeriksaan UKL-UPL; dan
c.    permohonan dan penerbitan Izin Lingkungan.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012  merupakan pengganti PP 27 Tahun 1999 Tentang Amdal dengan penambahan berbagai pengaturan dan ketentuan perihal izin lingkungan. Beberapa pembeda dengan PP lama antara lain, proses penilaian amdal dalam PP 27/2012 ini lebih cepat, yaitu 125 hari dari 180 hari pada PP lama.Peraturan Pemerintah ini juga menambah semakin besarnya ruang bagi keterlibatan masyarakat khususnya masyarakat terkena dampak dalam hal penentuan keputusan mengenai layak tidaknya rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut.Permohonan izin lingkungan dan penerbitan izin lingkungan harus diumumkan 3 kali dalam tahap perencanaan.Dalam PP lama hanya mewajibkan satu kali pengumuman saja yaitu pada tahap sebelum menyusun kerangka acuan (KA Andal).
Sebagai catatan kita, walaupun bidang kesehatan secara sub bidang tidak termasuk sebagai salah satjenis kegiatan yang wajib AMDAL, namun hampir keseluruhan bidang yang wajib AMDAL menyertakan dampak kesehatan sebagai sebuah dampak besar dan penting yang harus dikelola. Hal ini menjadi tantangan,  khususnya tenaga Sanitarian dan Kesehatan Lingkungan untuk selalu meningkatkan kapabilitas kita. Kita dapat download berbagai peraturan terbaru bidang AMDAL ini pada website Kementerian atau  di website lain yang tersedia.


4. Cari masalah apa saja yang sering ditemui pada penerapan Amdal oleh industri atau Rumah Sakit. Jelaskan apa solusi yang mereka terapkan untuk menyelesaikan masalah2 tersebut?..Nilai 50.
Jawab:
Masalah yang sering ditemui pada penerapan Amdal oleh rumah sakit:
AMDAL bermanfaat untuk menjamin suatu usaha atau kegiatan pembangunan agar layak secara lingkungan. Dengan AMDAL, suatu rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan diharapkan dapat meminimalkan kemungkinan dampak negatif terhadap lingkungan hidup, dan mengembangkan dampak positif, sehingga sumber daya alam dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustainable).
Dengan penerapan Amdal, Resiko bahaya di rumah sakit yang disebabkan oleh faktor biologi, fisik, kimia, fisiologi/ergonomi dan psikologi dapat menyebabkan penyakit dan kecelakaan akibat kerja bagi pekerja, pengunjung, pasien dan masyarakat disekitar lingkungan rumah sakit dapat diminimalkan. Pekerja rumah sakit memiliki resiko kerja yang lebih tinggi dibanding pekerja industri lain sehingga resiko bahaya tersebut harus dikendalikan.
Salah satu upaya pengendalian adalah dengan melakukan sosialisasi kepada seluruh pekerja rumah sakit tentang resiko bahaya tersebut sehingga seluruh pekerja mampu mengenal resiko bahaya tersebut.Dengan mengenal resiko bahaya diharapkan pekerja mampu mengidentifikasi resiko bahaya yang ada disatuan kerjanya dan mengetahui upaya pengendalian resiko bahaya yang sudah dilakukan oleh rumah sakit sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pekerja terhadap sistem pengendalian resiko bahaya yang sudah dilakukan.
Secara umum resiko bahaya di rumah sakit dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok sebagai berikut:
a.    Resiko Bahaya Fisik
Resiko bahaya fisik dikelompokkan lagi dalam 7 resiko bahaya fisik antara lain:
1)      Resiko bahaya mekanik
Resiko bahaya ini dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok yaitu:
a)      Benda-benda lancip, tajam dan panas dengan resiko bahaya tertusuk, terpotong, tergores, dan lain-lain. Resiko bahaya ini termasuk salah satu yang paling sering menimbulkan kecelakaan kerja yaitu tertusuk jarum suntik / jarum jahit bekas pasien. Resiko bahaya ini sebenarnya bukan hanya resiko bahaya fisik karena dimungkinkan jarum bekas yang menusuk tersebut terkontaminasi dengan kuman dari pasien. Mengingat bahaya akibat tertular penyakit tersebut cukup besar, maka harus ada prosedur tindak lanjut paska tertusuk jarum yang akan dibahas dibagian lain dalam pelatihan ini.
b)      Benda-benda bergerak yang dapat membentur. Seperti kita ketahui di rumah sakit banyak digunakan kereta dorong untuk mengangkut pasien dan barang-barang logistik. Resiko yang dapat muncul adalah pasien jatuh dari brankart/ tempat tidur, terjepit / tertabrak kereta dorong, dan lain-lain.
c)      Resiko terjepit, tertimbun dan tenggelam. Resiko ini dapat terjadi dimana saja meskiput kejadiannya tidak terlalu sering. Hal-hal yang perlu diperhatikan terutama di ruang perawatan anak dan ruang perawatan jiwa. Pastikan tidak ada pintu, jendela atau fasilitas lain yang memiliki resiko untuk terjepit/tenggelam tersebut.
d)     Resiko jatuh dari ketinggian yang sama; terpeleset, tersandung, dan lain-lain. Resiko ini terutama pada lantai-lantai yang miring baik di koridor, ramp atau batas lantai dengan halaman. Pastikan area yang beresiko licin sudah ditandai dan jika perlu pasanglah handriil atau pemasangan alat lantai anti licin serta rambu peringatan “awas licin”.
e)      Jatuh dari ketinggian berbeda. Resiko ini pada ruang perawatan anak dan jiwa. Selain itu perlu diperhatikan pada pekerjaan konstruksi bangunan atau pembersihan kaca pada posisi yang cukup tinggi. Jika pekerjaan dilakukan pada ketinggian lebih dari 2 meter sebaiknya pekerja tersebut menggunakan abuk keselamatan. Pada ruang perawatan anak dan jiwa yang terletak di lantai atas pastikan jendela yang ada sudah terpasang teralis pengaman dan anak-anak selalu dalam pengawasan orang dewasa saat bermain.
2)      Resiko bahaya radiasi
Resiko bahaya radiasi dapat dibedakan menjadi:
a)      Bahaya radiasi pengion adalah radiasi elektromagnetik atau partikel yang mampu menghasilkan ion langsung atau tidak langsung. Contoh di rumah sakit: di unit radiodiagnostik, radiotherapi dan kedokteran nuklir.
b)      Bahaya radiasi non pengion adalah Radiasi elektromagnetik dengan energi yang tidak cukup untuk ionisasi, misal radiasi infra merah atau radiasi gelombang mikro.
Pengendalian resiko bahaya radiasi dilakukan untuk pekerja radiasi, peserta didik, pengunjung dan pasien hamil. Pekerja radiasi harus sudah mendapatkan informasi tentang resiko bahaya radiasi dan cara pengendaliannya. Selain APD yang baik, monitoring tingkat paparan radiasi dan kepatuhan petugas dalam pengendalian bahaya radiasi merupakan hal yang penting.Sebagai indikator tingkat paparan, semua pekerja radiasi harus memakai personal dosimetri untuk mengukur tingkat paparan radiasi yang sudah diterima sehingga dapat dipantau dan tingkat paparan tidak boleh melebihi ambang batas yang diijinkan.Untuk pengunjung dan pasien hamil hendaknya setiap ruang pemerikasaan atau therapy radiasi terpasang rambu peringatan “Awas bahaya radiasi, bila hamil harus melapor kepada petugas”.
3)      Resiko bahaya akibat kebisingan adalah kebisingan akibat alat kerja atau lingkungan kerja yang melebihi ambang batas tertentu.
4)      Resiko bahaya akibat pencahayaan adalah pencahayaan pada lingkungan kerja yang kurang atau berlebih.
5)      Resiko bahaya listrik adalah bahaya dari konsleting listrik dan kesetrum arus listrik.
6)      Resiko bahaya akibat iklim kerja adalah berupa suhu ruangan dan tingkat kelembaban.
7)      Resiko bahaya akibat getaran adalah resiko yang tidak banyak ditemukan di rumah sakit tetapi mungkin masih ada terutama pada kedokteran gigi yang menggunakan bor dengan motor listrik dan pada bagian housekeeping / rumah tangga yang menggunakan mesin pemotong rumput (bagian taman).
b.    Resiko Bahaya Biologi
1)   Resiko dari kuman-kuman patogen dari pasien (nosokomial). Resiko ini di rumah sakit sudah dikendalikan oleh bagian Petugas Pemantau Infeksi Rumah Sakit (PPIRS) berkoordinasi dengan Unit K3, Instalasi Sanitasi Lingkungan RS (ISLRS) dan Satuan kerja pemberi pelayanan langsung kepada pasien.
2)   Resiko dari binatang (tikus, kecoa, lalat, kucing, dan lain-lain). Resiko ini dikendalikan oleh ISLRS dan harus didukung dengan housekeeping yang baik dari seluruh karyawan dan penghuni rumah sakit.
c.    Resiko Bahaya Kimia
Resiko dari bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi yang meliputi:
1)   Desinfektan yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk dekontaminasi lingkungan dan peralatan di rumah sakit seperti; mengepel lantai, desinfeksi peralatan dan permukaan peralatan dan ruangan, dan lain-lain.
2)   Antiseptik yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk cuci tangan dan mencuci permukaan kulit pasien seperti alkohol, iodine povidone, dan lain-lain.
3)   Detergen yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk mencuci linen dan peralatan lainnya.
4)   Reagen yaitu  zat atau bahan yang dipergunakan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium klinik dan patologi anatomi.
5)   Obat-obat sitotoksik yaitu obat-obatan yang dipergunakan untuk pengobatan pasien.
6)   Gas medis yaitu gas yang dipergunakan untuk pengobatan dan bahan penunjang pengobatan pasien seperti oksigen, karbon dioxide, nitrogen, nitrit oxide, nitrous oxide, dan lain-lain.
Pengendalian bahan kimia dilakukan oleh Unit K3RS berkoordinasi dengan seluruh satuan kerja.Hal-hal yang perludiperhatikan adalah pengadaan B3, penyimpanan, pelabelan, pengemasan ulang /repacking, pemanfaatan dan pembuangan limbahnya.
Pengadaan bahan beracun dan berbahaya harus sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.Penyedia B3 wajib menyertakan Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet / MSDS), petugas yang mengelola harus sudah mendapatkan pelatihan pengelolaan B3, serta mempunyai prosedur penanganan tumpahan B3.
             Penyimpanan B3 harus terpisah dengan bahan bukan B3, diletakkan diatas palet atau didalam lemari B3, memiliki daftar B3 yang disimpan, tersedia MSDS, safety shower, APD sesuai resiko bahaya dan Spill Kit untuk menangani tumpahan B3 serta tersedia prosedur penanganan Kecelakaan Kerja akibat B3.
Pelabelan dan pengemasan ulang harus dilakukan oleh satruan kerja yang kompeten untuk memjamin kualitas B3 dan keakuratan serta standar pelabelan.Dilarang melakukan pelabelan tanpa kewenangan yang diberikan oleh pimpinan rumah sakit.
             Pemanfaatan B3 oleh satuan kerja harus dipantau kadar paparan ke lingkungan serta kondisi kesehatan pekerja. Pekerja pengelola B3 harus memiliki pelatihan teknis pengelolaan B3, jika belum harus segera diusulkan sesuai prosedur yang berlaku.
Pembuangan limbah B3 cair harus dipastikan melalui saluran air kotor yang akan masuk ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Limbah B3 padat harus dibuang ke Tempat Pengumpulan Sementara Limbah B3 (TPS B3), untuk selanjutnya diserahkan ke pihak pengolah limbah B3.
d.   Resiko Bahaya Fisiologi / Ergonomi
Resiko ini terdapat pada hampir seluruh kegiatan di rumah sakit berupa kegiatan: angkat dan angkut, posisi duduk, ketidak sesuaian antara peralatan kerja dan ukuran fisik pekerja. Pengendalian dilakukan melalui sosialisasi secara berkala oleh Unit K3.
e.    Resiko Bahaya Psikologi
Resiko ini juga dapat terjadi di seluruh rumah sakit berupa ketidak harmonisan hubungan antar manusia didalam rumah sakit, baik sesama pekerja, pekerja dengan pelanggan, maupun pekerja dengan pimpinan.
Resiko-resiko bahaya tersebut semua dapat kita kendalikan melalui 5 hierarchy sebagai berikut:
a.    Eliminasi
Hirarki teratas yaitu eliminasi/menghilangkan bahaya dilakukan pada saat desain, tujuannya adalah untuk menghilangkan kemungkinan kesalahan manusia dalam menjalankan suatu sistem karena adanya kekurangan pada desain.Penghilangan bahaya merupakan metode yang paling efektif sehingga tidak hanya mengandalkan prilaku pekerja dalam menghindari resiko, namun demikian, penghapusan benar-benar terhadap bahaya tidak selalu praktis dan ekonomis.
Contohnya: resiko bahaya kimia akibat proses reuse hollow fiber HD dapat di eliminasi ketika hollow fiber tidak perlu reuse lagi atau single use.
b.    Substitusi
Metode pengendalian ini bertujuan untuk mengganti bahan, proses, operasi ataupun peralatan dari yang berbahaya menjadi lebih tidak berbahaya.Dengan pengendalian ini menurunkan bahaya dan resiko minimal melalui disain sistem ataupun desain ulang. Beberapa contoh aplikasi substitusi misalnya: Sistem otomatisasi pada mesin untuk mengurangi interaksi mesin-mesin berbahaya dengan operator, menggunakan bahan pembersih kimia yang kurang berbahaya, mengurangi kecepatan, kekuatan serta arus listrik, mengganti bahan baku padat yang menimbulkan debu menjadi bahan yang cair atau basah.
c.    Rekayasa / Enginering.
Pengendalian ini dilakukan bertujuan untuk memisahkan bahaya dengan pekerja serta untuk mencegah terjadinya kesalahan manusia.Pengendalian ini terpasang dalam suatu unit sistem mesin atau peralatan.
Contoh-contoh implementasi metode ini misal adalah sistem tekanan negatif pada ruang perawatan air borne dissease, penggunaan laminar airflow, pemasangan shield /sekat Pb pada pesawat fluoroscopy (X-Ray), dan lain-lain.
d.   Administratif
Kontrol administratif ditujukan pengendalian dari sisi orang yang akan melakukan pekerjaan. Dengan dikendalikan metode kerja diharapkan orang akan mematuhi, memiliki kemampuan dan keahlian cukup untuk menyelesaikan pekerjaan secara aman. Jenis pengendalian ini antara lain seleksi karyawan, adanya standar operasional Prosedur (SOP), pelatihan, pengawasan, modifikasi perilaku, jadwal kerja, rotasi kerja, pemeliharaan, manajemen perubahan, jadwal istirahat, dan lain-lain.
e.    Alat pelindung diri (APD)
Pemilihan dan penggunaan alat pelindung diri merupakan merupakan hal yang paling tidak efektif dalam pengendalian bahaya. APD hanya dipergunakan oleh pekerja yang akan berhadapan langsung dengan resiko bahaya dengan memperhatikan jarak dan waktu kontak dengan resiko bahaya tersebut. Semakin jauh dengan resiko bahaya maka resiko yang didapat semakin kecil, begitu juga semakin singkat kontak dengan resiko bahaya resiko yang didapat juga semakin kecil.
Penggunaan beberapa APD kadang memiliki dampak negatif pada pekerja seperti kurang leluasa dalam bekerja, keterbatasan komunikasi dengan pekerja lain, alergi terhadap APD tertentu, dan lain-lain.Beberpa pekeerja yang kurang faham terhadap dampak resiko bahaya dari pekerjaan yang dilakukan kadang kepatuhan dalam penggunaan APD juga menjadi rendah. APD reuse memerlukan perawatan dan penyimpanan yang baik sehingga kualitas perlindungan dari APD tersebut tetap optimal.

Beberapa contoh solusi sistem pengendalian resiko bahaya yang telah dilakukan di rumah sakit adalah sebagai berikut:
1.    Resiko bahaya fisik
a)      Mekanik : resiko yang paling sering terjadi adalah tertusuk jarum dan  terpeleset atau menabrak dinding / pintu kaca. Pengendalian yang sudah dilakukan antara lain: penggunaan safety box limbah tajam, kebijakan dilarang menutup kembali jarum bekas, pemasangan keramik anti licin pada koridor dan lantai yang miring, pemasangan rambu “awas licin”, pemasangan kaca film dan stiker pada dinding / pintu kaca agar lebih kelihatan, kebijakan penggunaan sabuk keselamatan pada pekerjaan yang dilakukan pada ketinggian lebih dari 2 meter, dan lain-lain.
b)      Resiko bahaya radiasi: resiko ini terdapat di ruang radiologi, radio therapi, kedokteran nuklir, ruang cath lab  dan beberapa kamar operasi yang memiliki fluoroskopi / x-ray. Pengendalian yang sudah dilakukan antara lain: pemasangan rambu peringatan bahaya radiasi, pelatihan proteksi bahaya radiasi, penyediaan APD radiasi, pengecekan tingkat paparan radiasi secara berkala dan pemantauan paparan radiasi pada petugas radiasi dengan personal dosimetri pada patugas radiasi.
c)      Resiko bahaya kebisingan: terdapat pada ruang boiler, generator listrik  dan ruang chiller. Pengendalian yang telah dilakukan antara lain: substitusi peralatan dengan alat-alat baru dengan ambang kebisingan yang lebih rendah, penggunaan pelindung telinga dan pemantauan tingkat kebisingan secara berkala oleh Instalasi Sanitasi Lingkungan Rumah Sakit (ISLRS).
d)     Resiko bahaya pencahayaan: resiko bahaya ini terutama di satuan kerja dengan pekerjaan teliti  seperti di kamar operasi dan laboratorium. Pengendalian yang sudah dilakukan adalah pemantauan tingkat pencahayaan secara berkala oleh ISLRS dan hasil pemantauan dilaporkan ke Direktur, Teknik dan Unit K3 untuk tindak lanjut ruangan yang tingkat pencahayaannya tidak memenuhi persyaratan.
e)      Resiko bahaya listrik: resiko bahaya listrik terdiri dari konsleting dan kesetrum. Pengendalian yang telah dilakukan adalah adanya kebijakan penggunaan peralatan listrik harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan harus dipasang oleh bagian IPSRS atau orang yang kompeten. Peralatan elektronik di RSUP dr Sardjito secara berkala dilakukan maintenance oleh bagian IPSRS dan seluruh peralatan yang layak pakai akan diberikan label layak pakai berupa stiker warna hijau, sedangkan yang tidak layak pakai akan diberikan stiker merah dan peralatan tersebut ditarik oleh bagian IPSRS. Selain itu unit K3 dan IPSRS secara berkala melakukan sosialisasi ke seluruh satuan kerja tentang perilaku aman dalam menggunakan listrik di rumah sakit.
f)       Resiko bahaya akibat iklim kerja: resiko ini meliputi kondisi temperatur dan kelembaban ruang kerja. Pemantauan temperatur dan kelembaban dilakukan oleh ISLRS. Acuan dari standar temperatur dan kelembaban mengacu pada keputusan menteri kesehatan RI no 1402 tahun 2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit.Masalah yang sering muncul adalah temperatur  melebihi standar seperti di Instalasi Binatu dan ruang produksi gizi, karena belum memungkinkan untuk distandarkan pengendalian yang dilakukan dengan pemberian minum yang cukup. Masalah kelembaban yang tinggi beresiko terjadinya kolonisasi kuman patogen sehingga meningkatkan angka infeksi baik bagi pasien maupun bagi pekerja. Pengendalian secara teknis telah dilakukan akan tetapi pada musim tertentu kadang tidak memenuhi persyaratan. Upaya yang dilakukan untuk menghambat kolonisasi kuman terutama pada ruang perawatan pasien, ICU dan kamar operasi harus dilakukan desinfeksi ruangan lebih sering dan pemantauan angka kuman secara berkala.
g)      Resiko bahaya akibat getaran: resiko bahaya getaran tidak terlalu signifikan. Dari telaah yang telah dilakukan unit K3, resiko bahaya getaran ditemukan di bagian taman akibat dari mesin pemotong rumput dan di klinik gigi akibat dari mesin bor gigi, tetapi tingkat getaran pada ke 2 lokasi tersebut masih dalam batas yang diijinkan.
2.    Resiko bahaya biologi : resiko bahaya biologi yang paling banyak adalah akibat kuman patogen dari pasien yang ditularkan melalui darah dan cairan tubuh, dropet dan udara. Pengendalian resiko ini telah dilakukan oleh Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) akan tetapi termasuk dalam area pemantauan Unit K3. Resiko air borne dissease dikendalikan dengan rekayasa ruangan tekanan negatif beserta peraturan administratif dan APD. Resiko penularan melalui droplet dikendalikan dengan menyediakan masker bagi petugas, pengantar pasien dan pasien yang batuk, serta sosialisasi etika batuk oleh PPI. Resiko blood borne dissease dikendalikasn dengan penggunaan alat-alat single use beserta persturan administratif dan APD. Selain itu untuk mencegah pe nularan penyakit blood borne dissease khususnya Hepatitis B dilakukan Imunisasi Hepatitis B dengan perioritas pada karyawan dengan kadar titer anti HBs < 0,2 u/L terutama yang bekerja pada tindakan invasif terhadap pasien. Selain itu juga telah dilakukan penanganan paska pajanan infeksi khususnya pada HIV dan Hepatitis B. Bila pekerja atau peserta didik mengalami kecelakaan kerja berupa tertusuk jarum bekas pasien atau terkena percikan darah dan cairan tubuh pada mukosa (mata, mulut) atau terkena pada luka, maka wajib melaporkan kepada penanggung jawab ruangan pada saat itu dan setelah melakukan pertolongan pertama harus segera periksa ke IGD agar dilakukan telaah dan tindak lanjut paska pajanan sesuai prosedur untuk mengurangi resiko tertular.
3.    Resiko bahaya kimia: resiko ini terutama terhadap bahan kimia golongan berbahaya dan beracun (B3). Pengendalian yang telah dilakukan adalah dengan identifikasi bahan-bahan B3, pelabelan standar, penyimpanan standar, penyiapan MSDS, penyiapan P3K, APD dan safety shower serta pelatihan teknis bagi petugas pengelola B3. Rekayasa juga dilakukan dengan penggunaan Laminary Airflow pada pengelolaan obat dan B3 lainnya.
4.    Resiko bahaya ergonomi: resiko ini banyak terjadi pada pekerjaan angkat dan angkut baik pasien maupun barang. Sosialisasi cara mengangkat dan mengangkut yang benar selalu dilakukan. Selain itu dalam pemilihan sarana dan prasarana rumah sakit juga harus mempertimbangkan faktor ergonomi tersebut terutama peralatan yang dibeli dari negara lain yang secara fisik terdapat perbedaan ukuran badan.
5.    Resiko bahaya psikologi: resiko psikologi teidak terlalu kelihatan akan tetapi selalu ada meskipun kadarnya tidak terlalu mencolok. Upaya yang dilakukan antara lain dengan mengadakan pertemuan antar satuan kerja, antar staff dan pimpinan dan pada acara-acara bersama seperti saat ulang tahun RS dan lain-lain yang bertujuan agar terjalun komunikasi yang baik sehingga secara psikologi menjadi lebih akrab denganharapan resiko bahaya psikologi dapat ditekan seminimal mungkin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SISTEMATIC REVIEW THEORY DAN STUDI KASUS

MENGENAL SISTEMATIC REVIEW THEORY DAN STUDI KASUS Sistematic review merupakan metode dalam melaksanakan review artikel dengan standar, kr...